novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Benakku mendadak suntuk, dikejar bayangan-bayangan yang belum pasti untuk masa depan kami. Bagaimana reaksi keluargaku jika mengetahui lakonku di Belanda ini? Tensi ayahku niscaya akan melejit, bisa-bisa stroke.

Apa yang harus kukatakan kepada mereka, andaikan kami pulang ke Indonesia dalam keadaan serba kacau-balau, dan sangat mengenaskan begini? Lagipula, aku tak punya tiket untuk pulang, tak punya uang selain 50 gulden di saku jaketku. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan di Kedutaan Besar Indonesia?

“Mama, ingat tidak Om Paul? Yang memberiku cokelat dan permen di pesta?” anakku mengusikku lagi. Oh, dia mengira klub itu tempat pesta? Aku meliriknya dan terheran-heran, mengapa anak ini masih mengenang sosok yang telah memelintir tangan si Gez malam itu?

“Ya, Nak, ada apa dengan orang itu?”

“Om Paul sudah janji mau bantu kita, Mama. Aku ingat janjinya itu, Mama,” cetus anakku terdengar mengambang.Aku memandangi wajahnya lekat-lekat .Di mataku pipi-pipinya tampak semakin tirus, kelelahan, kesakitan dan ketakutan yang sangat.Ya Tuhan, aku sungguh telah mengingkari hak-haknya.

“Maafkan Mama, ya Nak, maafkan segala kelemahan Mama, maafkan…”

Aku meracau penuh penyesalan. Seketika kupeluk erat-erat tubuhnya, kuciumi pipi putihnya, berharap bisa menyatukan seluruh daya yang masih kami miliki.

Akhirnya kubiarkan, kubiarkan, ya, kubiarkan saja segala kepedihan itu membuncah ruah. Semoga air mata ini menjadi terapi bagi hati kami, jiwa kami, fisik kami yang telah porak-poranda.

“Mama nangis… aku juga mau nangis, hikkksss”

“Iya Nak, Cinta, tidak mengapa kita menangis saja, ya,”

Pada saat bersamaan di dalam hati aku pun mengucap sumpah.

“Tuhanku, dengarlah sumpahku ini, jika Engkau tetap ada untuk kami berdua… Demi Engkau Yang Maha Tinggi, aku akan membesarkan anakku, dan memberinya masa depan sebaik-baiknya! Dengarlah sumpah seorang ibu yang teraniaya ini, ya Tuhan, dengarlah!”

Betapa ingin kulengkingkan, kujeritkan, kulo-longkan sumpahku. Tidak, ternyata hanya mampu kuperdengarkan untuk diriku sendiri, di dalam hatiku sendiri. Kupahatkan dengan tinta nurani seorang ibu di relung-relung jiwaku.

Sehingga aku takkan pernah mampu mengingkarinya sepanjang hayat dikandung badan.

“Kita cari Om Paul saja, ya Mama?” tanya anakku setelah puas kami bertangisan, masih di bangku di sudut stasiun Utrecht. Kubersit hidung dan kuhapus air mata yang membasahi pipi-pipiku. Anakku mengikuti kelakuanku, cepat-cepat menghapus air matanya dengan ujung-ujung jaketnya. Ya, Tuhan! Aku berjanji dalam hati, sejak saat itu aku takkan pernah menangis lagi di hadapan siapapun.

Terutama di hadapan anakku, mata hatiku, sumber semangat hidupku, kepada siapa aku telah berutang janji.

“Baiklah, kita kan cari Om Paul!” kuputuskan untuk menerima gagasan anakku. Kupikir sudah saatnya memberi kesempatan kepada anak kecil ini, lima tahun setengah. Ya, mengapa tidak? Selama ini aku telah melakukan kesalahan yang berimbas terhadap kehidupan anakku.

Kami kembali ke Hilversurn dengan sangat waspada, supaya tidak bertemu lagi dengan “monster” itu. Setelah bertanya kesana-kemari akhirnya kami menemukan tempat tinggal keluarga Moorsel.

“Oh, mijn God, rnijn God!” seru Paul menyambut kedatangan kami, langsung bereaksi begitu mencermati kondisi kami berdua. “Malang sekali kalian, malang sekali kalian… Maafkan, aku tidak bisa membantu kalian tempo hari.”

“Tidak beradab, binatang itu pantas mati!”

“Kita harus segera melaporkannya ke pihak berwajib!”

Kemarahan dan kegeraman dalam sekejap menggema di ruangan yang hangat dan nyaman itu. Kedua orang tua Paul, belakangan aku memanggil mereka Muder dan Fader, segera bergabung dan memberi bantuan. Aku mengatakan kepada mereka bahwa untuk saat ini, kami berdua hanya ingin kedamaian, perlindungan dan kenyamanan.

Segalanya yang di luar itu biarlah belakangan dibenahi.

“Tentu saja, Nak, jangan pikirkan apa-apa lagi.

Tinggallah di rumah kami, ya Nak. Kami jamin, kalian aman dan akan baik-baik saja berada di sini,” ujar ayah Paul dengan sorot mata memancarkan kebajikan, mengingatkanku kepada ayahku nun di kampung halaman.
Selama beberapa hari kemudian aku membiarkan orang-orang baik itu merawat diriku dan anakku. Sekilas lakonku di apartemen Gez kuungkap, tetapi rincinya kusimpan baik-baik dalam diari hatiku. Suatu kekejian luar biasa yang telah menimbulkan kerusakan lahir-batin, trauma pada jiwaku dan anakku hingga berbelas tahun kemudian.

(Aliet Sartika)

Coretan 7
Label Baru Seorang Istri


“Tindakan mereka telah memberikan pelabelan baru yang tidak mengenakkan bagi istri pertama.”

Semua mata mengarah ke panggung utama. Termasuk saya yang saat itu duduk di barisan paling belakang. Tidak berapa lama muncul seorang muslimah cantik dengan atribut serba pink, dari jilbab hingga rok bertumpuk yang dikenakannya.

Muda, cantik dan berbakat. Itulah yang ada di kepala, hingga seorang perempuan yang duduk selisih dua kursi dari saya, mulai menunjuk-nunjuk muslimah yang sedang bernyanyi di depan kami,

“Eh, itu istri tuanya si anu kan?”
Komentarnya menyebut nama pelantun lagu islami yang sangat terkenal. Teman yang diajak bicara mengiyakan.

Saya sempat terganggu dengan komentar yang menurut saya bukan pada tempatnya. Terbayang perasaan muslimah berbusana pink itu, jika tahu dia bernyanyi, dan komentar yang tidak nyambung itu yang justru ditujukan padanya.

Tapi sedih saya bertarnbah-tambah, setelah saya pulang, dan menerima SMS dari seorang teman.

“Asma, tadi Pak Nurhan bilang ke saya sambil menunjuk mbak fulanah… ‘Itu kan istri tuanya Pak Fulan.’ Benar Pak Fulan poligami, ya?”

Istri tua… istri tua.
Saya yakin perempuan-perempuan yang dibicarakan ini memiliki hati yang lapang, terbukti dari kesiapan mental yang telah mereka tunjukkan ketika suami menikah lagi.

Dengan hati sekuat itu, saya kira mereka akan bijak menanggapi hal ini.

Hanya saja saya tiba-tiba tercenung cukup lama, berpikir.
Apakah para lelaki yang berpoligami,mereka yang beralasan menikah lagi dalam kerangka sunnah Nabi atau alasan mulia lain,pernah sekejap saja merenung bahwa tindakan mereka telah menggoreskan tidak hanya luka yang coba diobati oleh para perem puan, tetapi juga stempel baru yang tidak mengenakkan bagi istri pertama?

Perempuan yang menempuh banyak pengorbanan agar bisa bersama lelaki yang dulu mendatangi mereka dengan kalimat-kalimat penuh bunga.

Perempuan yang menyertai mereka di awal perkawinan, ketika pekerjaan suami belum lagi mapan.

Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan baik hingga menjadi sosok yang membanggakan. Perempuan yang telah menghabiskan kemudaan dan kecantikannya dalam bakti, cinta dan keikhlasan bertahun-tahun hingga suami mereka sampai pada posisi sekarang.

Katakan jika saya salah, tidak kah setelah semua yang mereka lakukan, seharusnya mereka dimuliakan?

“Tetapi dengan menikah lagi suami berusaha memuliakan istri tuanya, Asma… hingga mudah mendapatkan surga!” Ya, ya… saya mencoba mengerti kalimat itu.

Tetapi apakah dimadu dan menjadi istri tua, merupakan jalan satu-satunya untuk mendekatkan perempuan (yang telah menghabiskan tahun-tahun dalam kepatuhan dan bakti itu) pada surga?
3 Maret 2007